Mengenai Saya

01 Februari 2012

Gempac Junior

Gempac Junior adalah organisasi penjelajah alam yang berusaha 'bangkit kembali'. Kalau ada junior, pasti ada seniornya (kata Komandan, hehehehehe). Untuk menjelaskan organisasi ini, butuh waktu ekstra. Jadi singkatnya, kami adalah penjelajah alam yang belum lihai menjelajah alam. Ekspedisi kami gagal total. Namun kami tetap bangkit dan melakukan ekspedisi lain, dengan spontan, tanpa persiapan matang. Kami memilih Gunung Ciremai. Karena dekat, efisien waktu dan ... hemat uang XD

Ekspedisi dimulai. Anggota yang ikut hanya seberapa. Yang lain beralasan ini - itu, itu - ini, kami pun berusaha untuk memakluminya. Kami mengambil jalur pendakian Linggarjati atau Rute Linggasana (ya, cukup menantang laaah). Kami berangkat dari Cirebon menuju Kuningan dengan menggunakan angkot biasa tepat pada hari Sabtu, pukul 13.33 waktu sekre setempat (hehehe). Sesampainya di Gedung Perjanjian Linggarjati, kami segera berjalan menuju pos pendaftaran. Belum setengah perjalanan menuju pos, nafasku sudah terengah. Mungkin karena carrier yang saya bawa terlalu berat, atau memang karena saya belum makan siang? (nah loh). Rombongan kami terdiri dari lima manusia nggak jelas dan satu manusia aneh. Ya, enam orang dengan lima carrier dan dua sleeping bag (itu juga yang satunya minjeeem, hiks). Kami adalah :
  • Oliz sebagai Komandan
  • Fauzi sebagai Koki
  • Ade sebagai Tanker
  • Setya sebagai Anggota Baru
  • Yayat sebagai Anggota
  • Saya sendiri sebagai Pengacau
Hari Pertama . . .
Sebelum ke pos pendaftaran, kami mampir terlebih dahulu ke rumah salah satu kerabat Komandan (Oliz). Kami memecahkan gelas, makan Ubi Manohara dan mencari-cari sinyal disana (maklum sim card abal-abal). Istirahat sejenak, mengobrol berjam-jam, dan hampir terisak ketika kami menyadari bahwa ... semua lampu senter kami ketinggalan di sekre !!!!! Hanya ada head lamp Komandan yang sepertinya, hanya bisa bertahan selama dua hari. Dirigen kami pun hanya ada empat buah dan yaaa, saya tidak membawa cukup banyak makanan.
Frustasi, kami pun pamit dari rumah saudara Komandan dan melanjutkan perjalanan ke pos pendaftaran, mengurusi segala macam administrasi, asuransi, terasiiiii (heee). Tepat jam 16.40 waktu setempat, kami sudah berdo'a bersama di Cibunar, yaitu pos pertama di jalur pendakian Linggarjati. Kami segera naik, semangat dan semangat, kami sampai di post kedua yaitu Leuweung Datar tepat jam 18.30 malam. Lalu kami melanjutkan perjalanan yang disertai hujan. Saya merasa kedinginan, dan anehnya, Komandan malah ngasih saya permen karet ! Oh God, What the --- ! Dan setelah perjalanan yang disertai hujan indah itu akhirnya kami mencapai post ketiga, Condang Amis ( 1.350 mdpl ) namanya. Di sana kami bertemu Mas Galih (si penunggu Ciremai, hehehe) dan Mba' Ganis. Tepat jam 19.30 malaaam --- pas lagi dingin-dinginnyaaa --- kami langsung ambruk satu persatu. Kami bermalam disana dan mendengarkan radio rusak yang terus berbunyi (saya menyanyi terus menerus, menahan dinginnya udara gunung). Tapi kami semua akhirnya tertidur pulas kecuali Komandan dan Mas Galih yang bercerita panjang lebar ini itu tentang pengalaman mereka menjelajah alam.

Hari Kedua . . .
Hari Minggu pagiiiii sekali. Saya dan Ade sudah bangun, Komandan tidur (maklum malemnya dia jagain anggotanya tidur, wesssh --- sesuatu). Jam 05.41 pagi, saya dan Ade alias Si Tanker terbangun. Dan sialnya, walau hanya kita berdua yang 'sudah terjaga', Ade tetap diam. Saya beri permen, Ade tak berkomentar. Saya ajak ngobrol, Ade tak bersuara, saya .... ah sudahlah, tidak usah dilanjutkan. Hmhmhmhm ...
Sekitar lima belas menit kemudian, datang para pendaki yang berjumlah lima orang. Tiga pria dan dua wanita. Mereka berasal dari Jakarta dan memulai pendakian pada pukul tiga pagi (heh kebayang nggak si loeee jam segitu gueee masih makan Sate Buaya didalam mimpi gue yang indah dan aneh itu tuuuh, hahaha).
Para pendaki itu beristirahat sejenak bersama kami, untuk kemudian melanjutkan pendakian saat matahari benar-benar cerah dan ramah, hehehe.
Kami semua kemudian sudah bangun. Diawali dengan Setya yang bangun dengan tiba-tiba, Fauzi dan Yayat ikut sadar. Komandan masih ngorok, Mas Galih nggak tau kemana (ngecek keamanan di Ciremai mereun), Mba' Ganis masih mimpi didalam tenda. Dan bagaimana dengan Ade? Ya, dia masih nyuekin saya. Kami mempersiapkan diri masing-masing. Setelah memasak, kami langsung packing dan mempersiapkan fisik.
Setelah 'didahului' para pendaki dari Jakarta, berdo'a bersama dan berpamitan pada Mas Galih dan Mba' Ganis yang tidak melanjutkan perjalanan, kami pun berangakat menuju puncaaaak !!!!
Pos keempat, Kuburan Kuda, kami lalui tepat pada pukul 11.05 waktu gunung Ciremai. Saya semangat sekali disini. Mendahului kelima manusia nggak jelas dibelakang saya, Hehehehehehe... Dalam perjalanan, kami bertemu dengan beberapa rombongan pendaki yang umurnya tentu saja lebih tua dari kami. Mereka tracking, dan kami santai, mengingat cuaca amat buruk dan tak bersahabat serta menyeramkan (iiih wooow).
Pos kelima, Pengalap ( 1.790 mdpl ), kami lewati pukul 13.09... kami makan roti dan menemukan gas yang masih bisa dipakai disana, saya masih kuat bawa carrier sendirian ...
Pos keenam, Tanjakan Seruni ( 2.080 mdpl ) , berhasil kami taklukkan pada pukul 14.04 siang ...
Pos ketujuh, Bapatere, kami menginjakkan kaki disana tepat jam 15.25 sore. Nah, disini saya udah nggak kuat bawa carrier. Untung ada Komandan yang bersedia bawain, ugh senengnya. Hahahahaha :D Makasih komandaaan (n_n)
Pos kedelapan, Batu Lingga ( 2.400 mdpl ), kami tiba disana pada pukul 17.00 pas (menurut jam tangan Ade). Karena cuaca yang tidak memungkinkan dan datangnya Sang Badai, kamipun akhirnya bermalam di pos ini, Kami mendirikan tenda, menyalakan api unggun, makan makanan made by Fauzi dan TIDUR. He ...
Kami tidur jam 20.00. Dan, Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yaaa. Kami menemukan sebungkus lilin merah yang masih utuh ! Keren kan ... Bisa jadi penerangan lah lumayan. Secara gitu kita kan cuma bawa satu head lamp keciiiiil. Hiks

Hari Ketiga . . .
Ada yang aneh di hari itu, kami bangun serentak jam 05.38. Siapa duluan yang terbangun? Entahlah. Kami rasa kami bangun secara bersamaan tanpa sengaja (kayaknya). Dan setelah Fauzi memasak, Ade packing, Yayat bercanda, Setya sibuk ngurusin jemuran (maklum booo tadi malem kan kena badaiiiii), saya nahan dingin, Oliz sibuk ngungkit-ngungkit masalah "orang yang megang kepala dia sampai empat kali tadi malam" (itu saya Komandan, kan gelap mas bro, saya boro-boro tau itu kepala orang atau apaaaaa. ampuuun ya Komandaaan), kami pun berangakat lagiiiii jam 09.00. Semangat, semangat, semangat !
Sangga Buana 1 ( 2.545 mdpl ) alias pos ke sembilan, kami injak sekitar jam 10.40 pagi. Masih tersisa dua pos lagi, dan kami semakin semangat menuju puncak ! Yeyeyeyeye ----- HUAAACHIM !
Sangga Buana 2 ( 2.665 mdpl ) ,  pos ke sepuluh, kami taklukkan di jam 11.11 siang. Dan kami pun semakin dekat menuju puncak ! Kali ini, saya kuat bawa carrier loh, hehehehehe :)
Pangasinan ( 2.860 mdpl ), pos ke sebelas alias pos terakhir !!! Jam 12.30 siang kami sudah ngemil dan menemukan kupluk di pos datar ini, hahaha. Tapi sayang, cuaca kembali tidak mendukung. Hujan deras, dan kami pun harus mendirikan tenda, mengantisipasi badai. Saya kembali kedinginan dan tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, kami harus berjuang melawan badai didalam tenda sederhana, dari siang sampai menjelang pagi di hari berikutnya. Nggak bisa tidur, tapi harus tidur. Tengah malampun kami terbangun karena badai mengamuk, semakin dahsyat dan peralatan kami basah semua :'(
Menakutkan sekaligus menyenangkan ...

Hari Keempat . . .
Kami bangkit dari tempat camp terlalu siang. Tentu saja karena malamnya kami tidak bisa tidur. Badai menghantam kami dan kami bertahan semampu kami. Setelah membongkar tenda dan packing, akhirnya kami berangkat tepat pukul 10.30 menuju PUNCAAAK !
Track yang kami lalui semakin susah dilewati, berupa tanjakan batu-batu besar yang terjal, sehingga kamipun harus menggunakan webbing untuk menjaga keselamatan kami. Tapi kemudian kami menghadapi masalah yang cukup membuat kami galau (eitsss jangan salah, di gunung juga kita bisa galauuu, wkwkwk).
Ade sang Tanker otot kawat tulang besi itu tiba-tiba muncul sendirian tanpa belahan jiwanya, Yayat (Ade dan Yayat memang dekat sekali, mereka tidak bisa dipisahkan). Lantas kami pun heran, padahal Ade dan Yayat selalu berdampingan berada di barisan paling belakang. Dan tiba-tiba, Ade bilang ke kita semua :
" Maaf, Uwa'(Yayat) nggak bisa nerusin perjalanan. Dia bilang nggak kuat, Jadi dia balik ke Pangasinan "
Ya, postur tubuh yayat memang terbilang gendut (tapi nggak gendut-gendut amat sih), wajar kalo dia cepet lelah dan nggak kuatan orangnya. Suasana pun hening saat Ade selesai bicara. Yang lain langsung kecewa, saya? Hampir ketawa. Kenapa? Karena muka komandan langsung berubah TOTAL, DRASTIS ! Yang tadinya semangeeet bangeeet, tiba-tiba BRUK ! Kusut banget kayak belum mandi tiga tahun ... (Tapi emang sih kita belum mandi tiga hari. Tapi tiga hari ya, bukan tiga tahun, heee).
Masalah memuncak. Kami berhenti ditengah jalan, padahal puncak itu tinggal selangkah lagi. Kami pun bingung, kami sangat menjunjung kebersamaan. Satu untuk semua, semua untuk satu. Dan tanpa satu anggota dari kami yang ke puncak, kami harus bagaimana ????? Sementara cuaca pun tidak mendukung perjalanan kami. Badai masih mengintai kami dari atas sana . . .
Satu-satunya Foto di Pangasinan (Pos Terakhir), dengan menggunakan kamera rusak di hape butut.
Hahahah :D
Photo By : Ade Mulyana, Si Tanker Otot Kawat Tulang Besi
Dengan berat hati,akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Track semakin sulit dan terjal. Semangat kami naik turun gara-gara gerimis, hujan, badai, galau (nah loh).....
Dengan mengerahkan sisa tenaga, akhirnya kami sampai ke puncak juga. Yah, walaupun tanpa si Uwa alias Yayat. Di puncak kami langsung berteriakkkkk ... Entah meneriakkan apa. Yang jelas kami bahagia bisa mencapai puncak walaupun tanpa satu anggota ikut, Yayat.
" Mamah, nyampe maaaaah ! ".
Teriakkan saya menggema. Kencang, sekencang-kencangnya, sambil menghadap ke kawah Ciremai nan menyeramkan itu.
Lebay sih, tapi setelah melewati badai yang menyeramkan, hal seperti ini menjadi biasa bagi kami.
Kamipun bersujud syukur disana. Saya, Fauzi, Setya, Ade dan Komandan...
Sebelum mencapai puncak, kami bertemu dengan empat orang pendaki yang berasal dari IPB. Karena kebetulan kami tidak membawa peralatan dokumentasi (hahaha), akhirnya kamipun 'numpang eksis' di kamera salah seorang dari mereka, Diki namanya. Mereka baik dan ramah. Kamipun berfoto ria (walau cuma sedikit), menggunakan kamera digital Diki. Kami berada di puncak hanya sebentar, dari jam 11.45 sampai dengan jam 12.15. Maklum, kata Komandan, badainya bentar lagi mau ngamuk. Ya, memang, angin kencang terus menggoyah kami. Bisa menjatuhkan kami seketika apabila keseimbangan tubuh tidak terjaga.
Foto Dengan HP Jadul (Lagi). Photo By : Setya


Dari Kiri : Komandan (Oliz), Ade, Fauzi, Saya, dan Setya
Anak Ilang Di Puncaaaaak. Dengan HP Butut Lagi
Rombongan mahasiswa IPB turun mendahului kami . Karena kami santai, kami pun tidak terburu-buru turun dan membiarkan mereka mendahului kami. Diawali komandan yang dengan semangat menuruni track nan terjal. Semangat Setya, Fauzi dan Ade pun terpacu. Saya juga, tapi sedikit sih. Carrier merah kepunyaan Ade yang saya pinjam pun akhirnya dibawa komandan. Kami semangat, menuju Pangasinan dan pos-pos berikutnya.
Di pos Pangasinan, kami tiba pukul 12.50, disana banyak sekali sampah. Komandan mengumpulkan sampah-sampah tersebut untuk dibawa sampai ke Cibunar untuk dibakar atau sekedar dibuang saja. Langkah ini diikuti Fauzi dan Setya. Oh ya, kami belum bertemu dengan Yayat. Seharusnya Yayat ada di Pangasinan, menunggu kami. Kami sempat khawatir, tapi tak lama kemudian kami pun melanjutkan perjalanan.
Pukul 13.30 kami sudah melewati pos Sangga Buana 2, sedangkan pos Sangga Buana 1 kami taklukkan di jam 14.25. Yayat masih belum ditemukan. Kami kembali melanjutkan perjalan, sembari mangambil sampah-sampah bekas para pendaki, dan membawanya turun. Sampai di Batu Lingga yakni pada jam 15.15, kami juga belum menemukan Yayat. Kami melanjutkan perjalanan, karena waktu sudah semakin sore dan yang paling mengkhawatirkan, batang hidung Yayat tak kunjung terlihat. Di perjalanan menuju pos berikutnya, fisik saya melemah. Semua hal disekeliling saya menjadi tak terkendali. Di beberapa track turunan yang terjal, saya terjatuh. Dan saat bangun lagi, kepala saya terasa berat dan pandangan saya semakin kabur (mata saya minus tiga, ditambah dengan pandangan yang kabur, saya pun semakin tidak bisa melihat dengan jelas). Tapi saya berhasil sampai di Bapatere dan kami menemukan Yayat. Ya, sedikit lega sekaligus kesal. Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan, saya terjatuh. Terjatuh lagi, dan jatuh lagi. Komandan sudah terlihat cemas. Dia mengawasi saya dari belakang sampai ke sebuah shelter sebelum sampai ke pos Tanjakan Seruni. Dan saya tergeletak lemah disana.
" Mau digendong nggak? ".
Komandan menawarkan jasa gratis, aku menggeleng, masih merasa kuat dan masih merasa 'bisa berjalan sendiri'. Di shelter itu kami bertemu dengan tiga pendaki asal bekasi yang sangat menyebalkan. Ya, di gunung kan semua sifat asli para pendaki kan akan terlihat dengan sendirinya. Untuk kasus semacam ini, kami, GEMPAC JUNIOR, bisa mengatasinya dengan tenang.
Setelah dibujuk Yayat, akhirnya saya mau digendong Komandan. Saat itu fisik saya benar-benar lemah. Padahal tidak hujan, tapi saya kedinginan. Saya batuk-batuk tanpa henti, berkepanjangan dan menyesakkan tenggorokan. Cahaya cukup terang, tapi saya cuma bisa melihat gelap, gelap dan gelap. Kami pun melanjutkan perjalanan sampai ke Tanjakan Seruni. Dan di shelter antara pos Tanjakan seruni dan Pengalap, kami memutuskan berhenti. Karena cuaca yang tidak memungkinkan (badai sebentar lagi datang brewww), juga fisik saya yang sangat tidak mendukung. Kamipun mendirikan tenda darurat. Suasana sudah mulai gelap. Dan malam itu kami pun tidak makan karena persediaan makanan kami hampir habis. Saya hanya diberi Paracetamol dan Itrasal oleh Komandan. Tapi kami sempat memakan biskuit sebelum tidur, dan kami pun tidur dengan perut kosong. Malam harinya, kami diterjang badai. Angin sangat kencang, hujan. Udara dingin pun menyelimuti tenda. Saya yang memang tidak kuat bangun hanya bisa meringkuk didalam sleeping bag, diam tanpa sepatah katapun, namun akhirnya tertidur. Di tengah malam kami dikejutkan dengan suara gerumuh yang amat keras dari belakang tenda. Kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali meringkuk didalam tenda dan berdo'a bahwa malam itu, semuanya akan baik-baik saja.

Hari Kelima . . .
Dan pada keesokan harinya, kami menemukan dua pohon besar tumbang tepat dibelakang tenda kami. Alhamdulillahirabbil'alamin, Allah SWT masih melindung kami, dua pohon besar itu tidak tumbang kearah dimana tenda kami didirikan. Kalau kedua pohon tumbang itu tumbang tepat mengenai tenda kami, entah bagaimana nasib kami. Tapi Allah masih menyayangi kami, menyelamatkan, dengan menumbangkan pohon kearah yang benar. Thanks lah :D Kami pun segera packing dan melanjutkan perjalanan. Kami tidak sarapan, persediaan makanan kami tersisa sangat sedikit sekali. Tapi kami tetap semangat, mengingat sudah empat hari lamanya kami menghuni Gunung Ceremai nan eksotik itu. Menuju Pengalap. Komandan, Fauzi, Setya, Yayat dan Ade sangat bersemangat sekali. Sementara saya hanya bisa berjalan lambat, pelan dan super hati-hati.
Ade segera mengambil tindakan. Berhubung Komandan berada didepan bersama Setya, mendahului sisa anggota, Ade menawarkan jasa gendong, seperti yang dilakukan Komandan. Yayat berpendapat bahwa jika saya digendong Ade, perjalanan akan lebih cepat. Karena fisik saya yang benar-benar lemah (bahkan untuk bernafas rasanya susah sekali), saya pun digendong oleh Ade, si Tanker Otot Kawat Tulang Besi. Melewati pos Pengalap, Kuburan Kuda, dan beristirahat sejenak di Condang Amis pada pukul 13.01 waktu Gunung Ceremai (hehehe). Kami melanjutkan perjalanan. Saya masih digendong Ade, diturunkan apabila track terlalu terjal dan susah dilewati. Akhirnya kami sampai di Cibunar (pos terakhir) sekitar ba'da Ashar. Kami semua tersenyum sumringah. Kami melakukan repacking, makan dan minum sejenak, yang mandi ya mandi yang enggak ya enggak, dan membuang sampah yang kami bawa dari atas sana.
Pukul 16.00, kami memutuskan untuk pulang. Dijalan, kami menemukan banyak pohon tumbang akibat badai yang menerpa tanpa ampun, kami melanjutkan perjalanan. Berhenti sejenak di rumah saudara Komandan, disana kami bertemu para senior (anggota GEMPAC terdahulu) dan mengobrol sejenak. Ba'da Maghrib, saya pulang menumpang pada salah satu senior dan sisanya : Komandan, Fauzi, Ade, Setya, Yayat menggunakan angkot menuju sekre.
Dan tepat jam 21.00 (menurut hapeku), kami membongkar carrier, merapikan barang-barangnya dan kemudian ... BERPISAH...

Berakhir sudah Ekspedisi kita kali ini, dan Insya Allah lebih sukses daripada Ekspedisi yang sebelumnya. Semoga Ekspedisi selanjutnya akan lebih sukses lagi. Amin.

Salam Rimbaaaaa :D

21 November 2011

Untuk Sahabatku (Ku Kira)

Saat matamu tak lagi tertutup, bisakah kau menenggak sedikit kegagalan untuk lebih membebaskanku?
Berhentilah tertawa dan perbaiki dirimu.
Dan segala kepunyaanmu yang melebihi keadaanku, sebaiknya kau segera sadar.
Malang, kau bahkan semakin sesat dalam keterpurukanmu.
Disaat semua orang memikirkan perubahan, setidaknya mengagguklah barang sejenak.
Tapi kau malah bernyanyi semakin merdu diantara kesenangan dan kesengsaraan.
Selebihnya, aku tidak memintamu untuk menjadi yang terbaik.
Aku hanya ingin kau melepaskan segala inginmu untuk mempermainkan kebaikanku.
Bukan kemampuan dan kelebihanku yang membunuhmu.
Walau mungkin semuanya benar, setidaknya berhentilah mengikutiku.
Berhentilah meremehkanku dan menganggap semuanya baik-baik saja saat berada disampingku.
Bukalah matamu lebih lebar dan rasakan kegalauanku.
Ketika aku berada diatas, menggenggam hasil peluh dan merebahkan senyuman, kau ikut tersenyum.
Tapi aku tau itu adalah senyum palsu.
Dan senyum palsu itu tercipta sebelum matamu terbuka.
Kau adalah sesat yang harus dipertahankan.


















Untuk orang yang ku kira sebagai sahabat :)

01 September 2011

Aku melihat keramaian malam ini.
Aku bergabung bersama kabut malam, menentang maut, melewati para manusia berkuda besi yang lincah.
Ada kecepatan yang seringkali membuatku takut.
Dan gas itu, mengingatkanku padamu.
Ketika gas ditekan, ketika kecepatan meluncur bak burung yg terbang bebas.
Entah kenapa aku kembali mengingatmu.
Mungkin kau melupakan perempatan itu, perempatan dimana kita hampir celaka.
Perempatan yg membuatku terancam bahaya, bersamamu.
Mungkin bukan jalan yg sama disini, ketika aku melewati jalan berbelok dan tikungan tajam.
Tapi kesamaan bahaya itu menentangku.
Bahaya yg ku tantang.
Bertaruh dg kecepatan penuh dan kembali mengingatmu :)

Ayu Alfiah Jonas di sudut pantai Pangandaran dengan batu hitam dan bangunan bercat putih